PEREMPUAN, PILKADA DAN RUANG (AMAN) POLITIK (untuk dan bagi PEREMPUAN)

Oleh: Tiana Jeanita (Korda Jaringan pendidikan pemilih untuk rakyat (JPPR) Indramayu dan Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DPD KNPI Kabupaten Indramayu)

Opini, Mandanews.id – Babak baru perempuan di ruang politik, kini merangkak masuk menjadi bagian dari demokrasi yang dinamis, keterlibatan dan peranan aktif perempuan dalam politik menjadi cerminan dari komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip inklusifitas dan keadilan.

Meski peta jalan politik untuk perempuan tetap belum berimbang. Budaya politik yang maskulin hingga stereotip gender yang melekat kuat belum dapat dikikis habis.

Perempuan tetap terus belajar dan masuk kedalam ruang – ruang kompetisi pemilu dan pilkada untuk menempati posisi strategis.

Selain itu, penting juga untuk perempuan memastikan seseorang yang berperspektif terhadap perempuan dapat memimpin, mengawal isu-isu strategis, dan menciptakan kebijakan yang lebih inklusif, berkeadilan dan juga responsive terhadap kebutuhan masyarakat secara langsung termasuk didalamnya perempuan.

Indonesia dengan 38 Provinsi, 416 Kabupaten dan 98 Kota. Berdasarkan data kementerian dalam negeri dan beberapa laporan organisasi yang berfokus pada kesetaraan gender, pada tahun 2023, tercatat Indonesia hanya memiliki tak lebih dari 10% pemimpin Perempuan, ini mencakup kepemimpinan Perempuan di posisi gubernur, bupati dan walikota.

Meski demikian, angka ini menunjukkan peningkatan dari beberapa dekade sebelumya. Tercatat dalam website perludem di pilkada 2017 yang hanya melahirkan 5,90% pemimpin perempuan, di tahun 2018 hanya melahitkan 9,06% pemimpin perempuan, di tahun 2019 hanya melahirkan 8,7% pemimpi Perempuan dan di tahun 2020 pilkada hanya di ikuti oleh 10,9% calon perempuan.

Dan perempuan Indramayu memenangkan kontestasi ini. Satu kemajuan, Namun tentu ini masih jauh dari kata ideal jika dibandingkan dengan presentasi capaian kepemenangan perempuan dan upaya memaksimalkan Gender Main streaming di Indonesia.

Gender main streaming seperti yang di amanatkan dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000 yaitu menitik beratkan pada memastikan integrasi isu gender dalam setiap kebijakan dan program pembangunan untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkeadilan di setiap level kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.

Sudah barang tentu, tanpa perempuan menduduki pimpinan negara, dan atau seseorang berperspektif terhadap perempuan menjadi Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota, tentu harapan akan terciptanya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan ini akan menjadi barang abu.

Pada prinsipnya masa depan politik Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh perempuan dapat terlibat aktif dan setara dalam proses politik.

Semangat UU No. 2 Th 2008 yang mewajibkan partai politik memberikan kuota 30% untuk perempuan dalam daftar calon legislatif tak lain adalah untuk mendorong keterwakilan perempuan. Ini merupakan langkah penting yang harus upayakan dengan maksimal oleh dan untuk perempuan.

Namun, di luar angka-angka kuota, yang lebih penting adalah membangun sistem politik yang benar-benar menghargai peran serta dan kepentingan perempuan didalamnya.

Meski afirmasi kuota 30% untuk perempuan telah berjalan lebih dari satu dekade, peta jalan politik untuk perempuan tetap belum berimbang. Budaya patriarki kerap menghambat perempuan dalam mendapatkan peran – peran kepemimpinan.

Seringkali perempuan yang terjun ke politik dihadapkan dengan stereotip gender, seperti anggapan-anggapan bahwa mereka kurang kompeten dibanding laki-laki, serta tantangan dalam menyeimbangkan peran publik dan domestik.

Selain itu, ruang politik yang kental dengan nuansa maskulin menjadi keterbatasan tersendiri untuk perempuan. Sesederhana sulitnya perempuan mengakses sumber daya politik, serta jaringan politik yang masih didominasi kekuasaan laki-laki.

Sejauh ini, ruang – ruang politik masih menjadi ruang yang rentan untuk perempuan dan kepentingan perempuan.

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai salah satu mekanisme politik lokal membuka ruang bagi keterlibatan perempuan dalam pemerintahan daerah.

Dengan semakin bertumbuhnya kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dan representasi yang lebih inklusif dan berkeadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pilkada menjadi salah satu arena terdekat dan paling penting sekaligus berdampak untuk perempuan dapat berkesempatan untuk berperan aktif sebagai pemimpin untuk lokalitas kepentingan-kepentingan perempuan itu sendiri.

Melalui Pilkada dan memastikan perempuan dan atau orang yang berperspektif terhadap perempuan memimpin, artinya masyarakat menggantungkan perwujudan dari visi misi membangun negara atau daerah yang lebih inklusif, berkeadilan dan juga responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Perempuan sebagai suatu individu dalam momentum pilkada ini perlu memainkan isu politik ini setidaknya kedalam dua segmentasi. Pertama, perempuan sebagai individu yang memiliki hak untuk “dipilih” berhak untuk memastikan dirinya memiliki ruang politik yang aman.

Penting untuk memastikan perempuan dapat turut serta dalam pemilu dan pemilihan tanpa embel-embel krisis kepercayaan terhadap dirinya hanya karena dia perempuan, atau bahkan karena iklim politik yang sedemikian maskulin ini menyandra kepentingan bahkan berpotensi menutup akses perempuan untuk turut serta dalam pemilihan.

Sehingga, bukannya tumbuh subur akses perempuan menghadapi pemilu dan pilkada justru perempuan menjadi sandra politik kepentingan yang cenderung maskulin.

Faktanya seringkali kita melihat perempuan masuk kedalam panggung politik sebagai representatif dari kekuasaan seseorang maskulin/suami/orang tua tanpa membawa turut serta kepentingan-kepentingan perempuan, atau bahkan perempuan yang memasuki ruang politik tanpa sensitivitasnya terhadap isu kesetaraan dan keberpihakan terhadap perempuan.
Kedua, perempuan sebagai individu yang memiliki hak untuk “memilih”.

Perempuan berhak untuk memastikan dirinya memilih seseorang yang dapat menjadi representatif atas kebutuhan perempuan.

Esensi dari memilih kepala daerah adalah memastikan yang dipilih ini adalah individu yang menyentuh isu kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial yang aksesble terhadap kebutuhan perempuan. Hak pilih perempuan sebagai seorang warga negara jangan sampai dihegemoni dengan istilah “kuasa untuk perempuan” atau istilah “Perempuan harus pilih perempuan”.

Penting memastikan calon yang dipilih berperspektif terhadap perempuan bukan hanya tersandera pada jenis kelamin akan tetapi meneguhkan kepentingan maskulin tanpa mempertimbangkan kebutuhan strategis dan mendasar perempuan itu sendiri.

Agaknya ada baiknya jika memilih pemimpin maskulin tapi mengakomodir kepentingan-kepentingan perempuan. Kepentingan, kebutuhan strategis perempuan dalam memasuki ruang-ruang politik yang tertuang dalam visi misi calon dan diwujudkan dalam kebijakan publik jauh lebih penting.

Idealnya, penting untuk perempuan hadir secara sadar dalam menghadapi momentum politik. Upaya memperluas partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya untuk memenuhi tuntutan inklusifitas dan kesetaraan, tetapi juga untuk memperkuat demokrasi.

Terdekat perempuan akan menghadapi pilkada, tentu sangat penting untuk memastikan seseorang yang berperspektif terhadap perempuan terpilih dan memimpin.

Dengan begitu sama halnya kita memastikan dekat mengawal isu – isu yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial yang aksesble terhadap kebutuhan perempuan.

Hal ini dapat membantu memastikan dapat terciptanya kebijakan yang lebih inklusif, berkeadilan dan juga responsif terhadap kebutuhan masyarakat secara keseluruhan termasuk perempuan.

Dengan harapan dalam melakukan tata kelola dan kebijakannya tidak ada satupun yang tertinggal.